Selasa, 09 April 2013

RESTORATIVE JUSTICE

Akhir-akhir ini sering sekali dikemukakan pendapat atau suatu pemikiran mengenai “restorative justice” (keadilan restorasi) di kalangan penegak hukum. Penulis sendiri sering dibuat bingung oleh para ahli yang mengemukakan pendapat mengenai teori restorative justice ini. Oleh karena itu, penulis mencoba mengumpulkan bahan-bahan  yang berkaitan dengan teori Restorative Justice, namun karena keterbatasan penulis, bahan-bahan yang penulis kumpulkan hanya berasal dari media internet. Harapan penulis, hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis sendiri dalam memahami  teori Restorative Justice, serta dapat bermanfaat bagi orang lain, masyarakat pada umumnya, serta para penegak hukum pada khususnya yang mungkin dalam tanda kutip sama seperti penulis yang masih kebingungan memahami teori ini.
Definisi
Wikipedia
“restorative justice is concerned with healing victims wounds, restoring offenders to law abiding lives, and repairing harm done to interpersonal relationships and the community”
Yang artinya kurang lebih “ restorative justice (keadilan restoratif) berfokus untuk menyembuhkan luka yang diderita korban (fisik maupun psikis), membuat pelaku menjadi taat hukum, memperbaiki hubungan sesama manusia serta kepada masyarakat akibat suatu tindak pidana;
Dikutip dari Greif, menurut Liebmann, keadilan restoratif merupakan keseimbangan dari :
1.    Terapetik (pemulihan) dan retributif (penghukuman);
2.    Hak Pelaku dan hak serta kebutuhan korban;
3.    Kewajiban untuk merehabilitasi pelaku dan kewajiban melindungi kepentingan umum;
DR. Eva Achjani Zulfa
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini
Jadi sasaran “restorative justice” bukan hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada korban, serta masyarakat. Dalam pandangan Restorative Justice, kepentingan korban sangat diperhatikan. Sama pentingnya dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi. Jika kedua hal ini telah terpenuhi, maka diharapkan kehidupan sosial masyarakat dapat pulih kembali.
Para penganut paham ini berpedapat karena hukum bertitik tolak tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada korban serta masyarakat, maka penegakan hukum inilah yang dianggap paling adil;
3 Prinsip Restorative Justice:
1.    keadilan harus dapat memulihkan mereka yang telah terluka;
2.    Setiap pihak yang terkena dampak dari suatu tindak pidana (korban) memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam penegakan hukum;
3.    Peran pemerintah hanya untuk menjaga ketertiban umum. Sedangkan peran masyarakat adalah untuk membangun dan memelihara perdamaian;
Karakteristik Restorative Justice
1.    Pertemuan: kesempatan bagi korban, pelaku dan tokoh masyarakat untuk mendiskusikan akibat dari suatu tindak pidana serta bagaimana solusinya;
2.    Ganti Rugi: diharapkan pelaku dapat memperbaiki akibat yang ditimbulkan;
3.    Reintegrasi: diharapkan hubungan antara pelaku, korban, serta kehidupan bermasyarakat dapat pulih kembali;
4.    Penyertaan: memberikan kesempatan kepada orang yang menyuruh melakukan, menganjurkan maupun turut serta melakukan untuk berpartisipasi berdiskusi dan memberikan solusi perbaikan atas akibat yang ditimbulkan;
Partisipasi korban dalam restorative justice bukanlah suatu keharusan, tapi merupakan hak bagi korban. Hak ini diberikan setelah korban menerima informasi secara penuh mengenai peran korban, peran pelaku, serta informasi penuh mengenai sistem peradilan.
Di Kanada (negara yang pertama kali menerapkan sistem restorative justice), restorative justice bisa dilakukan tanpa melalui proses peradilan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
·         Pelaku mengaku bersalah dan bersedia bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang ia lakukan;
·         Korban secara bebas, tanpa paksaan dari pihak manapun menyetujui proses restorative justice di luar peradilan;
·         Ada fasilitator/ mediator yang memenuhi kriteria;

Bentuk-bentuk Restorative Justice
1.    Victim-Offender Mediation (VOM)
Suatu pertemuan antara korban dengan pelaku yang dipimpin oleh seorang mediator. VOM awalnya berasal dari Kanada sebagai bagian dari alternatif sanksi pengadilan;
2.    Family Grup Conferencing (FGC)
Peserta FGC lebih luas dibandingkan VOM. Kalau VOM sebatas pelaku dan korban, maka pada FGC juga melibatkan keluarga inti, teman dan ahli. FGC biasanya sering digunakan dalam perkara yang dilakukan oleh anak-anak. Program ini digunakan oleh Australia dan Selandia Baru;
di Brazil, program seperti ini disebut Restorative Conferencing (RC)
3.    Community Restorative Boards (CRB)
CRB merupakan suatu grup/panel/lembaga yang terdiri dari orang-orang yang telah dilatih untuk bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah. Di Inggris dan di Wales, Hakim bisa memerintahkan kepada pelaku untuk mengikuti program ini. Polisi juga dapat merujuk pelaku untuk mengikuti program ini sebelum mereka melanjutkan penyidikan. Disini korban bertemu dengan pelaku dan dengan panelis untuk mendiskusikan masalah dan solusinya dalam jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan, grup/panel tersebut akan melimpahkan kembali perkara tersebut ke pengadilan atau ke polisi.
4.    Restorative Circles
Merupakan suatu forum yang terdiri dari keluarga dan teman-teman untuk mendukung narapidana agar dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat. Sistem ini digunakan di Hawaii
Apakah restorative Justice dapat diterapkan pada semua tindak pidana? Sampai saat ini penulis belum ada batasan tindak pidana apa yang boleh diterapkan dan yang tidak boleh diterapkan. Karena titik tolak batasan penerapan restorative justice bukan dari jenis tindak pidana, tapi dari persetujuan korban dan persetujuan pelaku;
Di Indonesia, kepentingan korban telah diserahkan kepada Jaksa Penuntut  Umum sehingga korban tidak diikutsertakan secara aktif dalam proses peradilan. Menurut penulis, jika  teori “restorative justice” hendak diterapkan dalam peradilan di Indonesia, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:
1. korban atau keluarga korban harus dilibatkan secara aktif sehingga pendapatnya berpengaruh terhadap tuntutan dan putusan pengadilan;
2. ada peran dari pihak ketiga yang mendorong proses perdamaian antara korban/keluarga korban, pelaku/ keluarga pelaku, serta masyarakat yang diwakili oleh tokoh masyarakat;
3. ditentukan batasan-batasan dan jenis tindak pidana apa saja yang bisa diberlakukan “restorative justice”.
4. Ada payung hukum/ peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan tegas mengatur tentang “restorative justice”.
Dengan melihat karakteristik dari sistem “restorative justice” tersebut, penulis melihat ada kemiripan antara “restorative justice” dengan “qishas” dalam hukum Islam yang tercermin dari hadist berikut:
Hadits riwayat Bukhari ra. Beliau berkata :
Dari Abdullah Ibnu Abbas ra, dia berkata: Dahulu pada Bani Israil adanya qishash dan tidak ada pada mereka diyat (denda), lalu Allah berfirman kepada umat ini:”Diwajibkan atas kami qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang mendeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Pemaafan adalah keluarga korban pembunuhan menerima diyat (tidak menindak Qishash) dalam pembunuhan disengaja”. Ibnu Abbas berkata: “Mengikuti dengan cara yang baik adalah menuntut (diyat dari pembunuh) dengan cara yang baik, dan (pembunuh) supaya memenuhi dengan terbaik”.

1 komentar: