Akhir-akhir ini sering
sekali dikemukakan pendapat atau suatu pemikiran mengenai “restorative
justice” (keadilan restorasi) di kalangan penegak hukum. Penulis sendiri
sering dibuat bingung oleh para ahli yang mengemukakan pendapat mengenai teori restorative
justice ini. Oleh karena itu, penulis mencoba mengumpulkan
bahan-bahan yang berkaitan dengan teori Restorative Justice, namun karena
keterbatasan penulis, bahan-bahan yang penulis kumpulkan hanya berasal dari
media internet. Harapan penulis, hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri
penulis sendiri dalam memahami teori Restorative Justice, serta dapat
bermanfaat bagi orang lain, masyarakat pada umumnya, serta para penegak hukum
pada khususnya yang mungkin dalam tanda kutip sama seperti penulis yang masih
kebingungan memahami teori ini.
Definisi
Wikipedia
“restorative justice is concerned with healing victims
wounds, restoring offenders to law abiding lives, and repairing harm done to
interpersonal relationships and the community”
Yang artinya kurang lebih “ restorative justice (keadilan
restoratif) berfokus untuk menyembuhkan luka yang diderita korban (fisik maupun
psikis), membuat pelaku menjadi taat hukum, memperbaiki hubungan sesama manusia
serta kepada masyarakat akibat suatu tindak pidana;
Dikutip dari Greif, menurut Liebmann, keadilan
restoratif merupakan keseimbangan dari :
1. Terapetik
(pemulihan) dan retributif (penghukuman);
2. Hak Pelaku
dan hak serta kebutuhan korban;
3. Kewajiban
untuk merehabilitasi pelaku dan kewajiban melindungi kepentingan umum;
DR. Eva Achjani Zulfa
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran
yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang tersisihkan dengan mekanisme
yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini
Jadi sasaran “restorative justice” bukan hanya
kepada pelaku, tetapi juga kepada korban, serta masyarakat. Dalam pandangan
Restorative Justice, kepentingan korban sangat diperhatikan. Sama pentingnya
dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi perbuatannya
lagi. Jika kedua hal ini telah terpenuhi, maka diharapkan kehidupan sosial
masyarakat dapat pulih kembali.
Para penganut paham ini berpedapat karena hukum
bertitik tolak tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada korban serta
masyarakat, maka penegakan hukum inilah yang dianggap paling adil;
3 Prinsip Restorative Justice:
1. keadilan
harus dapat memulihkan mereka yang telah terluka;
2. Setiap pihak
yang terkena dampak dari suatu tindak pidana (korban) memiliki kesempatan untuk
berpartisipasi secara penuh dalam penegakan hukum;
3. Peran
pemerintah hanya untuk menjaga ketertiban umum. Sedangkan peran masyarakat
adalah untuk membangun dan memelihara perdamaian;
Karakteristik Restorative Justice
1. Pertemuan:
kesempatan bagi korban, pelaku dan tokoh masyarakat untuk mendiskusikan akibat
dari suatu tindak pidana serta bagaimana solusinya;
2. Ganti Rugi:
diharapkan pelaku dapat memperbaiki akibat yang ditimbulkan;
3. Reintegrasi:
diharapkan hubungan antara pelaku, korban, serta kehidupan bermasyarakat dapat
pulih kembali;
4. Penyertaan:
memberikan kesempatan kepada orang yang menyuruh melakukan, menganjurkan maupun
turut serta melakukan untuk berpartisipasi berdiskusi dan memberikan solusi
perbaikan atas akibat yang ditimbulkan;
Partisipasi korban dalam restorative justice bukanlah
suatu keharusan, tapi merupakan hak bagi korban. Hak ini diberikan setelah
korban menerima informasi secara penuh mengenai peran korban, peran pelaku,
serta informasi penuh mengenai sistem peradilan.
Di Kanada (negara yang pertama kali menerapkan sistem
restorative justice), restorative justice bisa dilakukan tanpa melalui proses
peradilan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
· Pelaku
mengaku bersalah dan bersedia bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang ia
lakukan;
· Korban
secara bebas, tanpa paksaan dari pihak manapun menyetujui proses restorative
justice di luar peradilan;
· Ada
fasilitator/ mediator yang memenuhi kriteria;
Bentuk-bentuk Restorative Justice
1. Victim-Offender
Mediation (VOM)
Suatu pertemuan antara korban dengan pelaku yang
dipimpin oleh seorang mediator. VOM awalnya berasal dari Kanada sebagai bagian
dari alternatif sanksi pengadilan;
2. Family Grup
Conferencing (FGC)
Peserta FGC lebih luas dibandingkan VOM. Kalau VOM
sebatas pelaku dan korban, maka pada FGC juga melibatkan keluarga inti, teman
dan ahli. FGC biasanya sering digunakan dalam perkara yang dilakukan oleh
anak-anak. Program ini digunakan oleh Australia dan Selandia Baru;
di Brazil, program seperti ini disebut Restorative
Conferencing (RC)
3. Community
Restorative Boards (CRB)
CRB merupakan suatu grup/panel/lembaga yang terdiri
dari orang-orang yang telah dilatih untuk bernegosiasi dalam menyelesaikan
masalah. Di Inggris dan di Wales, Hakim bisa memerintahkan kepada pelaku untuk
mengikuti program ini. Polisi juga dapat merujuk pelaku untuk mengikuti program
ini sebelum mereka melanjutkan penyidikan. Disini korban bertemu dengan pelaku
dan dengan panelis untuk mendiskusikan masalah dan solusinya dalam jangka waktu
tertentu. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan, grup/panel
tersebut akan melimpahkan kembali perkara tersebut ke pengadilan atau ke
polisi.
4. Restorative
Circles
Merupakan suatu forum yang terdiri dari keluarga dan
teman-teman untuk mendukung narapidana agar dapat kembali bersosialisasi dengan
masyarakat. Sistem ini digunakan di Hawaii
Apakah restorative Justice dapat diterapkan pada semua
tindak pidana? Sampai saat ini penulis belum ada batasan tindak pidana apa yang
boleh diterapkan dan yang tidak boleh diterapkan. Karena titik tolak batasan
penerapan restorative justice bukan dari jenis tindak pidana, tapi dari
persetujuan korban dan persetujuan pelaku;
Di Indonesia, kepentingan korban telah diserahkan
kepada Jaksa Penuntut Umum sehingga korban tidak diikutsertakan secara
aktif dalam proses peradilan. Menurut penulis, jika teori “restorative
justice” hendak diterapkan dalam peradilan di Indonesia, maka ada beberapa
hal yang harus diperhatikan yaitu:
1. korban atau keluarga korban harus dilibatkan secara
aktif sehingga pendapatnya berpengaruh terhadap tuntutan dan putusan
pengadilan;
2. ada peran dari pihak ketiga yang mendorong proses
perdamaian antara korban/keluarga korban, pelaku/ keluarga pelaku, serta
masyarakat yang diwakili oleh tokoh masyarakat;
3. ditentukan batasan-batasan dan jenis tindak pidana
apa saja yang bisa diberlakukan “restorative justice”.
4. Ada payung hukum/ peraturan perundang-undangan yang
secara jelas dan tegas mengatur tentang “restorative justice”.
Dengan melihat karakteristik dari sistem “restorative
justice” tersebut, penulis melihat ada kemiripan antara “restorative
justice” dengan “qishas” dalam hukum Islam yang tercermin dari
hadist berikut:
Hadits riwayat Bukhari ra. Beliau berkata :
Dari Abdullah Ibnu Abbas ra, dia berkata: Dahulu pada
Bani Israil adanya qishash dan tidak ada pada mereka diyat (denda), lalu Allah
berfirman kepada umat ini:”Diwajibkan atas kami qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang mendeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih”. Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Pemaafan adalah
keluarga korban pembunuhan menerima diyat (tidak menindak Qishash) dalam
pembunuhan disengaja”. Ibnu Abbas berkata: “Mengikuti dengan cara yang baik
adalah menuntut (diyat dari pembunuh) dengan cara yang baik, dan (pembunuh)
supaya memenuhi dengan terbaik”.
inspiratif...mohon share gan.
BalasHapus