Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya
oleh Soekarno - Hatta. Pernyataan kemerdekaan itu tidak langsung
diterima baik oleh semua pihak, terutama pihak Belanda yang dengan gigih
berusaha untuk kembali menguasai seluruh kepulauan Indonesia.
Pertentangan pihak Belanda dengan Indonesia sampai menjelang tahun 1950.
mereka menjalankan politik adu domba dan pecah belah diantara rakyat
Indonesia dengan maksud dapat menduduki kembali seluruh kepulauan
Indonesia.
Dalam upaya menjajah Indonesia kembali, Belanda menyiarkan berita-berita
melalui surat kabar dan radio, bahwa kedatangan mereka ke Indonesia
bukan untuk berperang dan menjajah, tetapi menjaga keamanan yang
diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain melalui siaran propaganda,
pihak Belanda juga melakukan dua kali agresi bersenjata terhadap
Indonesia, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1948. Akibat
serangan itu dalam waktu relatif singkat hampir seluruh wilayah
Indonesia dapat mereka duduki kembali.
Daerah yang belum mereka kuasai satu-satunya adalah Aceh, sehingga
Republik Indonesia yang berusia muda itu masih mempunyai modal yang
sangat kuat untuk mempertahankan kedaulatan kemerdekaannya. Belanda
berkali-kali berusaha menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di
daerah Aceh dengan pendaratan pasukannya yang selalu dapat digagalkan.
Pasukan marinir Belanda juga selalu berusaha melakukan percobaan
pendaratan pada tempat-tempat strategis dan pelabuhan-pelabuhan
sepanjang pantai Aceh, seperti Ulee Lheue, Ujong Batee, Krueng Raya,
Sigli, Ulee Kareueng,Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan dan
lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering beroperasi pada
waktu itu, antara lain Jan Van Bukker, Ban Jan Van Gallaen.
Oleh karena kuatnya pertahanan pantai yang dilengkapi dengan
meriam-meriam pantai hasil rampasan dari tentara Jepang serta dilandasi
pula oleh semangat rakyat yang bergelora, maka wilayah Aceh terus dapat
dipertahankan kemerdekaannya dengan selalu mengagalkan rencana
pendaratan Belanda. Untuk mengetahui situasi di darat, Belanda sering
menangkap para nelayan dengan menyeret mereka ke kapal. Rencana Belanda
untuk menduduki daerah Aceh tidak pernah terlaksana sampai saat mereka
mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir tahun 1949.
Setia meski di khianati
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Aceh pasukan angkatan perangAceh
tidak hanya berjuang di Aceh saja akan tetapi juga terus-menerus
dikirim ke Medan atau pun ke tempat-tempat lain di Sumatera Timur
(sekarang: Sumatera Utara). Di sana pasukan Aceh berjuang di Medan Area
dan berbagai medan pertumpuran yang hendak dicaplok musuh. Menghadapi
tentara Belanda yang bersenjata mutakhir, panglima tentara RI Mayor
Jenderal R. Suharjo Harjowardoyo menumpahkan harapan besar kepada
pasukan Aceh.
Dalam sebuah telegramnya, panglima
meminta kepada pemimpin rakyat Acehsupaya menyediakan terus kekuatan
dari Aceh ke Medan. Pengembalian kota Medan terletak di tangan
saudara-saudara segenap penduduk Aceh. Akibat agresi pertama Belanda ini
menyebabkan negara republik Indonesia dihadapkan kepada suatu tantangan
besar.
Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.
Selain itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan
yang telah diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat.
Mengenai antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara. Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan pesawat ini diberi nimor RI-001.
Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.
Pada masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah
Aceh, Langkat dan Tanah Karo; terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari
pertama agresi tersebut tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik
Indonesia, Yogyakarta dapat di duduki oleh Belanda, Presiden Soekarno
dan Wakil Prsiden Muhammad Hatta beserta beberapa menteri dan beberapa
tokoh lainnya dapat ditawan oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948
pemerintah memberikan kuasa kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang
ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan PDRI, sedangkan di Jawa
dibentuk Komisariat Pemerintahan yang terdiri dari Mr. Sukiman. Mr.
Susanto Tirtiprodjo.
Dengan agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh
wilayah di Sumatera telah berada di bawah kekuasaan Belanda.
Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah Daerah
Aceh. Untuk menghadapi kekuatan Belanda di Sumatera Timur(Sumatera
Utara) dan didasarkan kepada pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan Aceh
menyerang Belanda dari pada bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang
yang diperbantukan pada batalion TRI Devisi juga dikirimkan ke kesatuan
laskar Aceh dari Devisi Tgk. Chik Di Tiro, Divisi Direncong, Devisi
Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara Pelajar.
Oleh karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.
Oleh karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.
Tugas pertama dari pasukan tersebut adalah untuk merebut kembali daerah
yang diduduki Belanda. Namun hal ini kurang berhasil karena kurang
terkoordinirnya pasukan bersenjata Republik Indonesia, bahkan sering
terjadi pasukan komando itu tidak dapat menjalin kerjasama, sehingga
tidak dapat menggerakkan suatu serangan yang serentak terhadap Belanda.
Walaupun tugas utamanya tidak berhasil, namun untuk menghalau gerak maju
pasukan Belanda ke Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak
ada satu daerah pun di Aceh dapat di duduki kembali oleh Belanda.
Sumbangan Rakyat Aceh
Daerah Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan
merupakan modal utama Republik Indonesia dalam perjuangan
kemerdekaannya. Pernyataan ini didukung kenyataan, bahwa satu-satunya
daerah dalam wilayah Republik Indonesia pada waktu itu yang tidak pernah
diduduki oleh Belanda adalah daerah Aceh. Hal ini pulalah yang
dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
(KBM) di Den Haag itu, bahwa Republik Indonesia masih memiliki wilayah
bebas penguasaan Belanda.
Mengenai antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara. Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan pesawat ini diberi nimor RI-001.
Bahwa uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara
jenisDakota tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah diantaranya
masih merupakan teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya
sebuah pesawat (RI-001). Menurut A. Hasjmy, bahwa penyelewengan ini
dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya belum diketahui. Namun sebuah
sumber lain menyebutkan bahwa pesawat yang satu lagi telah dihadiahkan
kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas
yang diberikan perwakilan Garuda beroperasi di Birma.
Pada mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik
Indonesia dan rute luar negeri, yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan
fungsinya didalam negeri selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan
Jawa; juga untuk menerobos blokade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh
politik bangsa Indonesia. Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001
menjadi pesawat komersil yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang
kemudian dikenal denganGaruda Indonesia Airways. Adapun menagernya yang
pertama adalah Wiweko Supeno.
Selain telah menyumbang pesawat udara untuk kepentingan perjuangan
bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, rakyat Aceh juga
menyumbang kepada pemerintah Republik Indonesia berupa senjata,makanan,
pakaian dan lain-lain untuk membantu perjuangan menegakkan dan
mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada tahun 1948 rakyat
Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor kerbau.[20]
Peran Radio Rimba Raya
Salah satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang
kemerdekaan adalah alat komunikasi, yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa
awal perang kemerdekaan 1946 daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar
radio yang ditempatkan di Kutaraja. Dan dalam perkembangan selanjutnya
dalam tahun1947 ditambah sebuah pemancar lagi yang ditempatkan di Aceh
Tengah dan dikenal dengan nama Radio Rimba Raya.
Kedua pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang
kemerdekaan, sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Mengenai Radio Republik Indonisia Kutaraja, pertama kali mengumandang di
udara pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui
gelombang 68 meter.
Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun 1947 radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di tangkap di luar negeri.
Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun 1947 radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di tangkap di luar negeri.
Ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bersidang
membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia dengan
Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang
mengadakan siaran dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Mengenai Radio Rimba Raya berbeda dengan Radio Republik Indonesia
Kutaraja. Pemancar Radio Rimba Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar
yaitu 1 kilowatt yang dikelola oleh Devisi X TNI yang dipimpin Mayor
John Lie.
Pemancar ini pertama sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari
kota Bireuen, kemudian atas perintah Gubernur Militer radio ini
dipindahkan ke Cot Gu (Kutaraja). Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah
karena para pemimpin memperkirakan, bahwa pada gilirannya Belanda akan
menyerbu ke Aceh. Radio ini di tempatkan di sebuah gunung yang dikenal
dengan Burmi Bius yang letaknya 10 km dibagian barat kota Takengon.
Dalam waktu singkat sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan
mendesak, pemancar Radio Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan
oleh W. Schultz seorang warga negara RI keturunan Indonesia-Jerman
bersama rekannya. Maka semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di
berbagai kota tidak mengudara lagi; karena dikuasai Belanda, maka Radio
Rimba Rayamengisi kekosongan ini dengan hasil yang baik sekali.
Ketika radio Batavia dan Radio Hilversum memberitakan bahwa Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi, karena setelah Yogyakarta dapat direbut
disusul pula dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan Republik Indenesia
lainnya, Radio Rimba Raya membantah dengan tegas, yang menandaskan;
“Bahwa Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada. Dan disini, adalah Aceh...”
Demikian siaran radio tersebut, Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan
belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa
Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab. Berita ini dikutip oleh All India
Radio; kemudian menyiarkan lagi, sehingga dunia pun mengetahui
kebohongan Belanda.
Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa “Aceh adalah nafas terakhir
Indonesia”. Dan kita tidak berani mengatakan bahwa kalau tidak ada Aceh
saat itu mungkin “Indonesia telah tamat riwayatnya”.
Para Ulama Aceh mendenyutkan semangat jihad perang kemerdekaan dengan
segala sumbangsihnya hingga negeri ini tetap berdiri tegak sampai saat
ini. Aceh pula digadang-gadang Soekarno sebagai modal utama perjuangan
kemerdekaan Republik ini, yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan
masih utuh sepenuhnya.
Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil) dengan semangat jihad fisabilillah
yang mendorong rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda, yang
kembali bergema pada era perang kemerdekaan Indonesia. Namun, atas
segala bentuk sumbangsih Rakyat Aceh untuk Republik ini, Pantaskan
rakyat Aceh selama ini menderita.?
Wallahu'alambishawab....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar